Hasil gambar untuk drama sepasang merpati tua

“Sepasang Merpati Tua”
karya : Bakti Soemanto


Unsur Intrinsik :
1.      Tema : Sosial – politik, dimana dalam kehidupan sosial masyarakat itu penuh dengan permasalahan yang mesti segera diselesaikan. Namun dalam kenyataan, masalah tak kunjung selesai, hal ini dikarenakan ulah para pejabat pemerintahan yang membiarkan masalah-masalah rakyatnya terus menumpuk. Sebagian kecil masalah yang diangkat adalah masalah sampah dan orang – orang hidup dalam kemiskinan dibawah kolong jembatan. Dibuktikan dalam pernyataan tokoh :
Kakek  : “Seorang diplomat pada hakikatnya adalah seorang yang pandai ngomong. Pandai meyakinkan orang, pandai membujuk. Orang-orang di kolong jembatan itu perlu di bujuk agar hidup baik-baik. Berusaha mencari pekerjaan yang layak dan timbul kepercayaan diri-sendiri. Tidak sekedar di halau, di usir, kalau malau ada orang gede lewat saja. Jadi untuk mengatasi tindakan-tindakan kasar ini, perlu ada wakil yang bisa membujuk….”
Kakek  : “Bidang sampah-sampah! Ini perlu sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini, karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-selokan itu. Kau lihat jalan-jalan yang sering tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk, sampahnya luar biasa banyaknya…”
2.      Alur
1)      Eksposisi (pelukisan awal)
a. Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela. (Pengenalan Latar Pentas)
b. Waktu drama ini dimulai, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-sebentar ia menengok ke belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.
Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya tidak ada lain selain bersolek. Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka memandang. Hmmm…(Mengambil cangkir, lalu meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai kopiah seperti ini, Bu?
(Pengenalan Para Tokoh)
Dari penggalan drama di atas, terlihat bahwa drama Sepasang Merpati Tua ini dimulai dengan penggambaran latar pentas yang dibuat oleh pengarang sebagai pengantar cerita. kemudian, dilanjutkan dengan pengenalan para tokoh yang di awali dengan Nenek duduk sendiri di ruang tengah rumah sambil menyulam dan sedang menunggu Kakek datang, hingga Kakek datang dengan memakai kopiah.
2)      Konflik
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Hu…hu…hu… (Menangis)
Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit nyamuk rupanya?
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan orang banyak begini. Siapa aku ini? Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau juga ikut dapat malu toh. Hu…hu…hu…
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu yang berani.
Pada kutipan di atas terlihat bahwa drama sudah mulai masuk pada tahap konflik. Penggambaran masalah sudah semakin jelas bahwa Nenek merasa di ejek/di olok-olok oleh Kakek dengan kata-kata “Mengaku dosa di depan orang banyak”, hingga membuatnya menagis dengan kata-kata tersebut.
3)      Komplikasi (pertikaian)
… 
Nenek : Ah, laga profesormu kumat lagi, pak?
Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita jadi professor.
Nenek : Dan kandas.
Kakek : Belum. O, malah sudah berhasil. Cuma tunggu pengakuan.
Nenek : Siapa yang akan mengakui keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di perguruan tinggi maupun di dunia ini.
Kakek : Secara formal memang tidak. Secara material ia…
.… 
Nenek : Mestinya kau tidak usah jadi professor saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
Kakek : Aku kurang senang jadi diplomat.
Nenek : Tapi kau lebih terkemuka, lebih ternama, lebih terkenal.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati nuraninya sendiri. (Nenek termenung tiba tiba)
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku jadi professor. Kau kepingin aku jadi diplomat? Baik. Aku akan jadi diplomat demi keelamatan perkawinan kita….
… 
Nenek : Mau pindah pekerjaan?
Kakek : Ya.
Nenek : Apa?
Kakek : Teknokrat….

Cerita dilanjutkan dengan perdebatan antara Nenek dan Kakek tentang jabatan yang ingin dicapai oleh Kakek. Dimulai dengan keinginan Kakek yang ingin menjadi profesor tetapi ditentang oleh Nenek yang lebih mengizinkan Kakek untuk menjadi diplomat dan Kakek pun menerima saran Nenek demi menyelamatkan perkawinan mereka. Dan ceritanya dilanjutkan dengan keinginan Kakek yang ingin pindah jabatan dari diplomat menjadi teknokrat.
4)      Klimaks (puncak ketegangan)
Kakek : Kita berpikir karena kita mengerti. Tapi karena berpikir perlu sistem, sistem membelenggu kita. Kita jadi tolol. Saya lagu-lagu. Saya rindu puisi-puisi. Orang-orang zaman ini tidak mengerti puisi-puisi. Kita sudah jadi robot semua. Berjalan dengan satu disiplin mati…. 
Nenek : Suamiku… Suamiku… Suamiku… Sudahlah….
Kakek : Hidup manusia harus dikembalikan keutuhannya, manusia harus….
Nenek : Sudahlah… (Menuntun ke sofa)
Kakek : Manusia harus menghayati hidupnya, bukan menghayati disiplin mati itu… doktrin-doktrin itu harus… harus….
Nenek : Suamiku, sudahlah nanti penyakit napasmu kumat lagi. Kalau kau terlalu semangat begitu….
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan dengan konsep-konsep tetapi dengan merangsangnya… dengan menggoncangkan jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang Cuma meniru, meniru, meniru… (Kakek rebah, Nenek menjerit)
Nenek : (Terseduh)
Cerita mencapai puncaknya pada saat Kakek berbicara dengan penuh semangat hingga ia tidak dapat mengontrol bicaranya sendiri yang membuat penyakit napasnya kambuh kembali. Peringatan Nenek tidak didengarnya karena semangatnya tersebut. Karena semangatnya yang terlalu berlebihan, hingga membuatnya rebah dan membuat Nenek menjerit dan menangis.
5)      Peleraian
Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh Nenek). Mengapa kau menangisi aku, tangisilah dirimu sendiri. Nenek : Kau masih hidup…?
Kakek : Aku tidak begitu yakin, selama aku terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti, apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati hidupku sendiri….
Nenek : Tetapi kau berbicara, kau bernapas….
Kakek : Bukan itu ukuran adanya kehidupan….
Cerita ini dileraikan dengan bangkitnya Kakek dari rebahnya dan penjelasan Kakek kepada Nenek tentang arti kehidupan yang sebenarnya.
6)      Penyelesaian
Nenek : Dua belas kali…
Nenek : Aneh! Ini tidak mungkin. Apa aku salah mendengar?
Kakek : Memang begitu. Kau tidak salah dengar.
Nenek : Tapi ini di luar kebiasaan. Tadi sudah berbunyi dua belas kali, mestinya bunyi lagi satu kali…, begitu kan?
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran- ukuran, konsep-konsep tidak terlalu cocok….
Nenek : Bagaimana cara kita mengerti…?
Kakek : Itulah soalnya….
Cerita ini diselesaikan dengan bunyinya lonceng jam dinding dua belas kali untuk yang kedua kalinya yang membuat Nenek heran, dan penjelasan lebih lanjut oleh Kakek tentang kehidupan bahwa kebiasaan, ukuran, dan konep tidak terlalu cocok untuk hidup manusia. Dan juga masih menyisahkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengerti kahidupan. Cerita ini pun berakhir happy ending karena Kakek kembali tersadar dari perebahannya dan bersatu kembali dengan Nenek.
Jika ditinjau dari pengarang mengakhiri cerita (pengakhirannya), alur drama tersebut diakhiri dengan teknik plot terbuka, dimana pada akhir cerita masih menyisahkan pertanyaan tentang arti kehidupan, sehingga masih menyisahkan pertanyaan dari dalam diri penonton tentang bagaimana arti dari kehidupan tersebut. Dan cerita ini beralur maju (progresif) karena ceritanya di mulai dari awal hingga akhir.
3.      Tokoh dan Penokohan :
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu:
1. Tokoh utamanya, yaitu Nenek. Ia adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun dikenai kejadian. 

2. Tokoh Tambahannya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. 

3. Tokoh protagonisnya, yaitu Nenek. Ia merupakan tokoh yang baik dan pembangun alur dalam cerita. 

4. Tokoh antagonisnya, yaitu Kakek. Ia merupakan tokoh yang yang memberi konflik pada tema dan memiliki kehendak yang berlawanan dengan Nenek. 

Penokohan dalam drama Sepasang Merpati Tua, yaitu: 

Nenek, seorang wanita yang baik, manja, pengkritik, cengeng, pemberani, gengsi, dan peduli. Kebaikannya ia tunjukan ketika ia mau mendengarkan kata-kata Kakek walaupun ia selalu tidak memahami arti dari kata-kata Kakek, tetapi ia pun mendukung si Kakek untuk memenuhi keinginannya dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat disekelilingnya. Sikap manjanya ia tunjukan ketika ia berdiri menghampiri Kakek dan duduk disebelahnya, yang kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri.

Sikap pengkritiknya ia tunjukan pada saat ia selalu menyela dan mengkritik segala ucapan Kakek. Sikap cengengnya ia tunjukan pada saat ia menangis karena tersinggung mendengar kata-kata Kakek yang mengatakan bahwa “Mengaku dosa didepan orang banyak”, serta menangis pada saat Nenek melihat Kakek rebah tak berdaya karena terlalu banyak bicara. Sikap pemberaninya ia tunjukan ketika ia berani mengakui dosanya di depan penonton dengan mengatakan bahwa “Dunia wanita yang hidup dalam angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut kenyataan-kenyataan”. Sifat gengsinya ia tunjukan ketika ia tidak mau menerima Kakek menjadi diplomat kolong jembatan dan teknokrat bidang persampahan karena gengsi pada teman-temannya. Dan sifat pedulinya ia tunjukan ketika ia memperingatkan Kakek agar tidak terlalu banyak bicara karena penyakit napas yang dideritanya dan berusaha menyadarkan Kakek dalam rebahannya. 

Kakek, seorang lelaki yang baik, bijaksana, pemalu, peduli, pemuji, pengkritik, percaya diri, dan semangat tingkat tinggi. Kebaikannya ia tunjukan dalam jiwanya yang tertanam nilai-nilai kemanusiaan yang begitu kuat, ia ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengubah pola pikir serta konsep yang tidak mengutamakan masyarakat menjadi orang yang lebih baik. Kebijaksanaannya ia tunjukan ketika ia mau mendengarkan nasehat istrinya dengan penuh lapang dada dan dengan kebijaksanaanya pula ia menerima segala keluhan-keluhan istrinya.

Sifat pemalunya ia tunjukan ketika ia malu pada penonton ketika ia berduaan dengan istrinya. Sifat pedulinya ia tunjukan pada keadaan masyarakat dan lingkungan hingga ia menghayal ingin menjadi diplomat dan teknokrat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakt dan kebersihan lingkungan. Sifat pemujinya ia tunjukan ketika ia memuji sifat Nenek yang pemberani ketika Nenek berani mengakui dosanya di depan penonton. Sifat pengkritiknya ia tunjukan pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sifat percaya dirinya ia tunjukan ketika ia mengaku bahwa ia adalah profesor layaknya guru besar yang mengajar diperguruan tinggi walaupun keprofesorannya hanya tercermin pada saat ia berdiskusi dengan para guru besar dan mahasiswa. Dan sifat semangat tingkat tingginya ia tunjukan ketika ia mengeluarkan semua kekesalan di dalam hatinya terhadap peraturan pemerintah hingga membuatnya rebah tak berdaya karena penyakit napasnya kumat kembali. 
4.      Lattar / Setting :
Lattar dari drama Sepasang Merpati Tua yaitu :
1.       Latar Tempat
a) Ruangan tengah rumah, tempat Kakek dan Nenek duduk berbincang-bincang.
“Panggung menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua.”
b) Sofa, tempat Kakek duduk membaca Koran dan tempat Nenek menyandarkan kepalanya ke bahu Kakek.
Kakek : (Berjalan menuju ke meja, mengambil Koran, lalu pergi ke sofa, membuka lembarannya)” dan pada kutipan
c) Meja makan, tempat Nenek mengambil cangkir dan tempat Kakek mengambil panganan dari toples.
d) Kursi, tempat Nenek duduk setelah bangkit dari sofa.
Nenek : Ah, wanita. Bagaimanapun sudah tua, aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke kursi dan duduk).
2.      Latar Waktu
a) Menjelang malam hari, waktu Kakek dan Nenek berbincang-bincang.
b) Empat puluh tahun yang telah lampau, waktu Kakek menjadi juru tulis.
Nenek : yaaah. Waktu dulu kau jadi juru tulis, empat puluh tahun lampau.
c) Delapan puluh tahun, waktu Nenek menjalani kehidupan.
Nenek : Delapan puluh tahun kujalani hidup. Benarkah aku belum mengerti.
d) Jam 12 malam, waktu Kakek dan Nenek tersadar bahwa waktu telah larut.
Nenek : Nanti saja, kalau sudah tak ada orang banyak…. (Terdengar suara jam dinding dua belas kali).
3.      Latar Suasana
a. Jengkel, perasaan Nenek kepada Kakek karena selalu bersolek dengan memakai kopiah ketika membaca koran.
b. Romantis, suasana ketika Nenek duduk di samping Kakek sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kakek sebelah kiri.
c. Mengolok-olok, suasana ketika Kakek berbicara kepada Nenek hingga membuatnya menangis.
d. Sedih, suasana hati Nenek ketika diolok-olok oleh Kakek dan suasana hatinya ketika Kakek rebah tah berdaya.
e. Menghibur, tindakan Kakek untuk membuat Nenek berhenti menangis.
g. Ikhlas, sikap Kakek ketika menerima saran Nenek untuk menjadi diplomat demi menyelamatkan perkawinan mereka.
h. Termenung, sikap Nenek ketika mendengar pembicaraan Kakek dan sikap Kakek ketika mendengar pembicaraan Nenek.
i. Berdebat, sikap Nenek dan Kakek yang memperdebatkan jabatan menjadi profesor, diplomat, dan teknokrat.
j. Sadar, suasana ketika Nenek dan Kakek tersadar bahwa apa yang telah mereka perdebatkan hanyalah hayalan semata.
k. Menegangkan, suasana ketika Kakek berbicara dengan penuh semangat hingga membuatnya rebah tak berdaya yang membuat Nenek menjerit dan menangis.
l. Mengerikan, suasana hati Nenek ketika mengingat kematian.
m. Menakutkan, suasana hati Nenek dan kakek ketika mengingat kematian.
n. Bingung, suasana hati Nenek yang tidak paham dengan arti kehidupan yang dijelaskan oleh Kakek.

5.      Sudut Pandang
Sudut pandang dalam drama Sepasang Merpati Tua yaitu pengarang menggunakan sudut pandang yang ketiga, yaitu pengarang sebagai other omniscient atau pengarang serba tahu. Selain itu ia tahu apa yang dirasakan oleh sang tokoh. Dalam hal ini, berhubungan dengan drama pengarang yang dimaksud berposisi sebagai sutradara yaitu orang yang mengatur cerita dan mengarahkan tokoh dalam cerita.
6.      Gaya Bahasa :
Gaya bahasa yang digunakan dalam drama Sepasang Merpati Tua yaitu dengan gaya khas bahasa banyumasan yang cablak dengan sindiran – sindiran yang mengupas berbagai masalah sosial saat ini, dan disertai budaya khas Jawa Tengahan (Jogja dan Solo).
7.      Amanat
Amanat dari drama Sepasang Merpati Tua, karya Bakti Soemanto ini, yaitu:
1. Jika kita memiliki ilmu, maka manfaatkanlah ilmu itu untuk kepentingan orang banyak.
2. Jika kita menjadi seorang pemimpin, maka perhatikanlah kepentingan masyarakat demi menciptakan
kesejahteraan.
3. Jika kita memiliki jabatan tertentu, maka manfaatkanlah jabatan tersebut dengan sebaik-baiknya demi kepentingan diri sendiri dan orang lain.
4. Hargailah tiap jabatan yang diperoleh, bagaimana pun jenis jabatannya. 
5. Hargailah tiap kehidupan yang diperoleh, karena kehidupan yang telah diperoleh sebelumnya tidak akan pernah kembali lagi.


Komentar